Apa kabar? Semoga dalam keadaan baik ya semua. Nda terasa sudah 2021, namun segalanya masih sama ya? Pandemi, pembatasan dan pencurangan masih terasa. Yakaaan hehe. 

Bicara pencurangan, pencurangan yang saya maksud disini adalah segala bentuk keputusan pemerintah yang terkesan hanya menguntungkan satu pihak. Sebut saja Omnibus Law (UU Cipta Kerja) yang kemarin saya sempat bahas dan banyaknya pasal serta peraturan baru serupa yang pemerintah masih terus susun dan putuskan hingga hari ini. Yang terbaru putusan perihal penurunan pajak mobil baru di Indonesia hingga 100% mulai Maret 2021 dengan asumsi mendongkrak ekonomi negara lewat industri mobil yang menurun drastis sebab pandemi. Hal ini sempat menggemparkan dan dinilai hanya akan menambah rentetan permasalahan baik itu untuk lingkungan dan kemacetan ibukota. Masih mau nambah nih macetnya Jakarta?

Mengenai permasalahan lingkungan, agaknya karena kendaraan mobil yang menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumberdayanya. Bahan bakar fosil yang buangannya melalui knalpot hanya akan mengeluarkan zat karbon yang menambah peningkatan efek rumah kaca sebagai salah satu penyebab perubahan iklim akan terus berlanjut dan semakin parah. Perubahan iklim terus berubah nih, masa kamu tidak berubah berubah dengan gaya hidup tidak ramah ke lingkungan, tidak berubah berubah sifat konsumerisnya yang ohiya, hal ini selaras dengan kutipan Mahatma Gandhi bahwa bumi menyediakan kebutuhan manusia tapi tidak untuk keserakahannya. Duh

Perubahan iklim yang terjadi tidak hanya berdampak ke daratan namun juga ke perairan. Padahal permasalahan di perairan khususnya di Indonesia kita ini sudah terbilang beragam. Salah satunya adalah masalah sedimentasi. Sedimentasi dapat terjadi akibat penimbunan, pengerukan pasir di area perairan hingga penutupan daerah resapan air. Sedimentasi ini berpotensi menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem perairan sebab sedimentasi hanya akan menutup jalur penetrasi cahaya yang menjadi sumber hidup dari fitoplankton, ohiya fitoplankton adalah produsen atau sumber makanan  pertama di perairan. 

Lebih jauh, sedimentasi menyebabkan  hilangnya habitat bagi beberapa organisme perairan jika hal ini terus berlanjut. Dikenal dengan fragmentasi habitat, yaitu terpecah-pecahnya satu habitat menjadi beberapa bagian, jadi organisme perairan tadi menjadi berpencar dan cenderung apabila telah tersebar akan sulit untuk beradaptasi kembali.  Mengutip Wilcove dalam Journal of Conservation Biology bahwa fragmentasi berpotensi menciptakan populasi yang lebih kecil dan terisolasi, penurunan rekruitmen dan kemunduran genetik karena berjaraknya populasi ini cenderung menyulitkan perkembangbiakan antar organisme terjadi dan skenario terburuknya adalah kepunahan lokal. 

Banyaak. Banyak faktor penyebab fragmentasi ini, namun yang dominan adalah faktor antropogenik. Benar. Aktivitas manusia yang mendorong hilangnya habitat ini. Pembangunan pelindung pantai dalam hal ini tanggul beton, reklamasi, pembuatan bendungan yang tidak memperhatikan aspek ruaya atau migrasi ikan disekitarnya hingga eksploitasi pasir dan kerikil juga berperan. 

Bahas reklamasinya saja yuk. Secara sederhana, reklamasi dilakukan dengan membuka atau memperluas lahan daratan baru dengan menutup pun menimbun area perairan dengan tujuan pembangunan perekonomian negara. Namun, pertimbangan pada aspek lingkungan, sosial-ekonomi masyakarat sekitar tidak ditimbang dan dikaji dengan baik sebelumnya dan dominan hanya memberikan dampak negatif khususnya bagi nelayan dan warga yang menggantungkan sumber pencahariannya pada perairan. Mereka akan kehilangan ikan tangkapan sebab fragmentasi dan sedimentasi tadi, jika pun masih ada mereka akan kehilangan ruang untuk mencarinya sebab semakin sempitnya jalur-jalur penangkapan digantikan luasnya daratan barunya reklamasi. Bahkan indahnya deretan kapal yang bersandar di pantai saat sore menjelang hanya akan jadi ingatan dan cerita dongeng pengantar tidur dari orangtua ke anaknya.  

Disisi lain, warga kampung Pekalongan, Jawa Tengah yang saat ini menjadi daerah yang paling sering mengalami banjir rob tiap tahun, dan solusi yang diberikan pemerintahnya adalah pemasangan tanggul beton di sepanjang pinggir pantai guna menghalau laju ombak tadi. Tapi, realisasinya semakin panjang beton yang terbentuk semakin deras pula laju ombak yang masuk. Orangtua kita sejak dulu, nenek-nenek kita leluhur kita padahal sudah menemukan cara yang lebih efisien untuk meredam ombak, menahan luapan air yang masuk. Terumbu karangmu, padang lamunmu dan bakaumu adalah jawabannya. Namun, bagaimana? Karangmu kamu bom hingga hancur berkeping demi eksploitasi ikan-ikan dengan mindset "ambil sebanyak mungkin, pakai cara apapun, kalau bukan kita maka akan diambil orang lain, kalau bukan sekarang kapan lagi?" Padahal karang adalah rumah, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi ikan-ikan yang kamu cari, kalau karangnya hancur bagaimana hidup kedepannya ikan-ikan tadi eh, atau kamu? Padahal kalau kamu estimasikan jumlah umurmu dibanding pertumbuhan karang tadi, sejak belia kamu menanam hingga akhir hayatmu hanya akan mendapatkan karang yang masih kerdil mungil, sebab apa? Mengutip tulisan Djuanidi dkk dalam Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan bahwa karang hanya akan bertumbuh sejumlah 0.5-2 cm pertahun dan itu jika kondisi lingkungannya mendukung, namun jika dikaitkan dengan laju perubahan iklim saat ini, kondisi dengan peningkatan suhu hingga 1 derajat celcius dan tercatat oleh World Meteorological Organization (WMO) yang mengatakan bahwa adanya peluang yang berkembang bahwa suhu global akan naik lebih dari 1,5 derajat celcius selama 5 tahun kedepan, yakin? 

Padang lamun yang kamu pandang sebelah mata sebagai rerumputan di pesisir tak berguna dan dengan mudahnya diinjak dan dibuangi sampah plastikmu. Ikan kecil yang baru menetas hidup disini, mereka berlindung dari pemangsa besar dan mencari makan dari epifit yang menempel di dedaunan lamun sebab mereka belum cukup kuat untuk berenang ke dasar ke karang yang punya beragam makanan yang mereka butuhkan. Dan bagaimana membahas bakau? Seperti yang saya bahas diatas, masyarakat Pekalongan yang mengeluhkan banjir yang terus masuk ke pemukiman mereka dijawab tanggul beton oleh pemerintahnya, alih-alih memberikan ribuan benih bakau yang nantinya lebih solutif dalam menjawab permasalahan warga, benih bakau yang tumbuh tingginya tidak hanya akan menekan laju air yang masuk namun juga memberikan udara bersih segar sebagai tumbuhan penetrasi karbon terbaik. Bemana di hahah.

Reklamasi telah banyak dilakukan di Indonesia dan hal ini legal dalam perundang-undangan karena pembangunan ekonomi negara harus tetap diprioritaskan demi kesejahteraan rakyat. Namun, jika reklamasi itu terjadi dengan tidak memperhatikan dampak lingkungan dan sosial-ekonomi warga sekitar hal tersebut mesti kembali dipertanyakan, urgensinya sebenarnya apa? dan juga perekonomian itu tidak buruk teman-teman, namun jika orang yang mestinya menghitung laba dan kerugian negara ditunjuk untuk mengelola sumberdaya kita, sumberdaya itu hanya akan habis tereksploitasi.

Panjang saya bercerita kali ini, sebab semalam dosen kami menyampaikan apa sih peran kita sebagai yang terus dijejali bagaimana perubahan iklim itu bisa terjadi, apa dampaknya dan apa langkah yang bisa kita ambil, ya ini dengan menceritakan apa yang kita tahu yang akhinya bisa saling berembuk langkah benar yang baiknya kita ambil dan mengaplikasikannya bukan hanya untuk diri sendiri namun juga untuk orang banyak, bukan hanya dikoleksi dipikiran sendiri tapi juga diamalkan langsung diperbuatan kita.  Besar harapan saya, buat kalian yang telah membaca hingga di kalimat ini, sama-sama bersepakat jika kondisi ekologi di suatu perairan itu masih baik dan terjaga, bagaimana proses reproduksi dan masih melimpahnya pakan alami suatu organisme di habitat tersebut masih berlangsung dan akhirnya membantu kehidupan perekonomian masyarakat yang membutuhkan, bahwa segala bentuk pemanfaatan berlebih dan cenderung hanya mengeksploitasi perairan itu tidak dibenarkan dan harus ditolak. 

Dah ya.

 



Comments

Post a Comment

Popular Posts