"Punten bapak, ini lagi ngambil pasir tah?"

"Iya neng"

"Ini bakal dibawa kemana ya pak, kalau udah penuh?"

"Dibawa ke dermaga tengah sana (sambil nunjuk tengah sungai yang banyak kapal berukuran lebih besar) nah dari sana kalo udah penuh tuh bakal ada mobil truk besar yang dateng ngangkutin pasirnya. Pasirnya itu akan dibawa ke kota seperti Sukabumi atau Bogor. Katanya buat jadi bahan bangunan gitu, neng"

"Bapak dihargain berapa buat ngambil pasir kayak gini?"

"20 ribu neng untuk satu kali ngangkut dan nurunin"

"Sehari itu bisa berapa kali ngangkutnya?"

"Kadang 5-6 kali, neng. Apalagi, kalau lagi ujan gede dan sungainya meluap, agak susah kan. Jadinya, lebih sedikit lagi pasir yang bisa diambil"

"Tapi maaf pak, ngambil pasir kayak gini ga dilarang?"

"Dilarang ada sih, neng. Tapi pasirnya ada terus dan karena kondisi perairannya udah kayak gini, pasirnya itu bakalan masuk ke sawah masyarakat dekat situ, jadinya kebanyakan yang punya sawah tuh yang izinin dan bantu ngomong ke aparat berwenang"

"Tapi bapak tau kan, kalau pasir ini terus diambil ikan yang masih kecil itu juga bakalan kena dampak. Sebab notabene habitat atau tinggalnya mereka di pasir gitu pak"

"Tau neng, karena orang disini nangkepnya pas perairannya keruh, yang memang keruh itu karena pasir yang ada kan, bukan hanya aer...

Tapi pasirnya dateng mulu, walau kita tiap hari dari pagi sampe sore ngangkutinnya kayak gini, sama aja. Neng taukan ngambil pasir kayak gini udah bertahun-tahun sebelumnya"

"Hmmm iya. Ngomong-ngomong, bapak tinggalnya di sekitar sini tah berarti ?"

"Iya neng, di sekitaran sana (sambil nunjuk arah barat seberang sungai penuh pemukiman kumuh dan semak belukar). Kita kemarin tinggalnya disana (sambil nunjuk area PLTU) numpang sama tanah TNI. Lalu ketika tanah tersebut bakal dibangunin PLTU kita disuruh pindah. Kompensasi yang diberikan 9 juta, ternyata itu cukup buat beli tanah doang karena harga tanah kan ga murah neng. Kita hanya bisa pindah ke area kumuh lagi. Nyari sumber penghidupan harus kembali ke tempat kita, karena kita udah kenal kondisi serta ga bakal diusir sepihak sama nelayan disana

Apalagi sejak PLTU masuk dan beroperasi, neng.....

Limbah buangannya masuk ke air, pernah juga batubara tumpah karena kesalahan kapalnya. Kan ujung-ujungnya ikan ga ada lagi kan neng. Adasih, tapi kita udah jauh nangkepnya. Kan sama aja rugi, karena biaya modal buat beli bahan bakar kapal lebih mahal karena kita nangkepnya jauh tapi dihargai ikannya mesti sama seperti sebelumnya

Sehingga jangan tanya neng, kenapa kita ngambil pasir sekarang, karena ya itu, untung-untungan buat hal ini lebih keliatan, neng...."

Assalamualaikum

Apa kabar semua? Di April ini semoga kabar kalian baik seperti di bulan-bulan sebelumnya. Sudah baca percakapan singkat diawal? Ya itu adalah 7 menit perbincangan singkat saya dengan seorang penambang pasir di Sungai Cimandiri, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat bulan November 2021 lalu.

Terkait adanya jeda yang cukup banyak antar draft ini dan waktu uploadnya...ya banyak hal yang terjadi di keseharian kita kan wkwk.

Bahwa pemenuhan hak hidup sebagai rentetan kaitan pertumbuhan penduduk memiliki konsekuensi terhadap pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan sosial juga budaya. Yusuf dalam disertasinya tahun 2016 menuturkan penduduk membutuhkan lahan untuk pemukiman, infrastruktur, industri dan jasa-jasa lainnya. Selain itu, penduduk juga membutuhkan ekstraksi sumberdaya dalam upaya pemenuhan kebutuhannya. Kebutuhan tadi terkait tingginya pemenuhan pemukiman yang memberikan ruang terhadap konversi lahan secara masif. Ekstraksi sumberdaya dan konversi lahan akan memberikan tekanan dan menghasilkan limbah yang dapat meningkatkan pencemaran dan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi-fungsi lingkungan (degradasi) hingga terjadinya kerusakan lingkungan. 

Permasalahan kerusakan lingkungan sebab dilakukannya pembangunan bukanlah sesuatu yang baru. Hal ini dapat dikatakan terjadi sebab Perpres RI No. 7 tahun 2006 tentang penugasan kepada PT. PLN untuk melakukan percepatan pembangunan pembangkit listrik dengan menggunakan batubara. Sehingga aturan tesebut menjadi dasar pembangunan PLTU Palabuhanratu dan 9 PLTU lain serta 25 PLTU diluar Jawa-Bali. 

Namun, pemenuhan kebutuhan tersebut seyogyanya mengingat lingkungan itu harus tetap lestari dan tidak mengganggu kehidupan warga setempat juga kan. Sebab dalam KTT Bumi tahun 1972 yang diselenggarakan di Stockholm Swedia silam, yang merupakan tonggak kesepahaman dunia terhadap upaya penyelamatan lingkungan hidup secara global dan melaluinya dikenal lah motto "only one earth". KTT tersebut juga membentuk badan khusus PBB untuk masalah lingkungan yakni UNEP (United Nation Environmental Programme) yang selanjutnya mencetuskan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang secara harfiah adalah suatu upaya pemenuhan kebutuhan generasi saat ini, tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. 

Di Indonesia sendiri, konsep ini diimplementasikan sebagai pembangunan berkelanjutan, yakni upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi kedalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan (UU No. 32 th 2009). Dengan demikian tujuan pembangunan  harus telah berkelanjutan dan mencakup 3 dimensi penting yaitu keberlanjutan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, keberlanjutan kesejahteraan sosial yang adil dan merata serta keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang seimbang. 

Sehingga jelas pemenuhan kebutuhan masyarakat Palabuhanratu dan Jawa-Bali secara umum terhadap pasokan listrik dapat dikatakan sudah menyalahi konsep PBB sendiri. Karena ada 2 poin sekaligus yang dilanggar yakni poin 2 dan 3. Apalagi mengingat adanya penurunan jumlah tangkapan dan perubahan wilayah tangkapan yang dialami nelayan akibat pembangunan PLTU 2 Jabar pada tahun 2006-2010 yang dijabarkan Arif Satria dalam Jurnal Sosiologi Pedesaan di tahun 2019. Yang terbaru, kejadian tumpahan batubaru di 2019 juga. Kejadian tersebut adalah kecelakaan kandasnya kapal bermuatan batubara akibat tingginya gelombang laut dari cuaca buruk yang terjadi pada April tahun itu. Diceritakan kapal tersebut memuat batubara dari Kalimantan Selatan. Muatan kapal tadi akhirnya tumpah tak peduli masuk ke laut. 

Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan dalam laporannya telah mengingatkan PT. PLN PLTU Jabar 2 Palabuhanratu agar segera menuntaskan tumpahan batubara yang tertimbun di Teluk Perairan Palabuhanratu. Dengan meminta memasang mooring buoy di anchor area untuk tempat tambat atau sandarnya kapal yang menunggu antrian masuk ke terminal pelabuhannya guna mengantisipasi kecelakaan serupa di kemudian hari. 

Sebagai informasi, dalam Peraturan Pemerintah No.21 tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim Pasal 31 disebutkan bahwa pemilik atau operator kapal yang mengangkut bahan pencemar selain minyak, wajib bertanggung jawab untuk mengganti kerugian dan pemulihan lingkungan yang disebabkan karena pencemaran air di perairan yang berasal dari kapalnya. Hal ini bukan hanya berdampak ke pemilik kapal yang harus mengeluarkan uang untuk kesalahan mereka, namun ikan yang hidup di dalamnya? 

Hal ini bukanlah satu-satunya, buangan limbah yang mencemari badan air juga terjadi setiap hari. Tanpa cuaca buruk ataupun anomali cuaca. Buangan limbah yang biasanya diolah terlebih dahulu dengan campuran bahan penetrasi tertentu yang nantinya jika limbah tadi akhirnya akan dibuang masuk ke perairan, tidak akan mengontaminasi dan membahayakan kelangsungan hidup makhluk hidup di dalamnya. Namun, PLTU yang berdiri di Kelurahan Cimandiri, Teluk Palabuhanratu disebutkan oleh masyarakat setempat telah mencemari sungai, muara bahkan laut sekitar. 

Limbah air dengan suhu tinggi akan masuk ke badan sungai dan akan memengaruhi kelangsungan hidup organisme di dalamnya. Lebih lanjut, Huboya dan Zaman dalam Jurnal Presipitasi tahun 2007 menjelaskan limbah air panas yang masuk ke perairan juga akan memicu kenaikan suhu perairan sekitar. Suhu perairan yang lebih hangat dapat menyebabkan organisme perairan mengalami permasalahan respirasi karena terjadinya peningkatan laju respirasi dan beriringan dengan itu akan meningkatkan konsumsi oksigen. Dampak buruk lainnya adalah timbulnya penyakit, parasit dan bahan beracun lainnya. 

Seperti yang telah kalian baca di percakapan awal, mereka adalah orang-orang yang sebelumnya menambang pasir, adalah nelayan kecil penangkap ikan. Namun, setelah masuk dan beroperasinya PLTU, wilayah tangkapnya berubah pun hasil tangkapannya tidak sama lagi seperti sebelumnya. 

Ikan-ikan tadi akhirnya hanya akan terkontaminasi bahan pencemar yang disebutkan diatas, lalu ditangkap oleh nelayan setempat dengan alat tangkap seadanya. Ikan yang telah terkontaminasi tadi akan dikonsumsi warga setempat tanpa tahu menahu dan tidak adanya pilihan lain. Itu untuk ikan yang tingkat toleransinya terhadap kadar toksisitas perairan cukup tinggi. Sehingga ikan tersebut dapat dikatakan sah-sah saja masih ada disana. Meskipun benar mengapa Indonesia sebagai negara penghasil pangan bergizi tinggi, tetap saja persentase stunting nya berada di urutan mengkhawatirkan versi WHO. Ya alasannya karena ini. Bagaimana dengan ikan-ikan yang tidak mampu mentolerir? Mereka akan berenang menjauh untuk menghindari kematian jenisnya. Manusia yang membutuhkannya untuk jadi santapan juga berharap kandungan gizi yang lebih baik lewat ikan tadi? Harus berupaya lebih keras lagi mendayung kapalnya hingga ke ujung laut dan tentunya dengan bahan bakar yang tidak sedikit. 

Dan mereka sendiri, tanpa dibantu siapapun

Negara yang katanya hadir untuk memberikan rasa adil ditengah masyarakat berpunya dan tidak berpunya itu hanya manis dibibir. Mereka harus melalui jalan sunyi itu sendiri

Dan, memang benar kata bapak kemarin

"Kita orang kecil mau gimana, neng?"



Dah ya. 









Comments

Popular Posts